Sunday 3 April 2016

3 Alasan Orang Menjauhi Gerejanya




Saya baru hidup selama 21 tahun , ya tentunya masih sangat muda. Umur saya terbilang masih sangat panjang, oleh karena itu saya sangat antusias dalam mempelajari kebenaran. Saya seorang Kristen, dari garis keturunan memang orang Kristen. Saya mempelajari kebenaran ya hanya dari Alkitab, bukan dari buku ilmu pengetahuan dan sebagainya.
Selama saya tinggal memijak kaki di bumi ini, sudah saya temui beberapa orang yang memiliki pandangan hidup yang berbeda-beda. Selain memiliki agama yang berbeda, juga memiliki pola pikir yang berbeda. Dalam artikel ini , saya mencoba untuk menelaah bagaimana seseorang bisa menjauh dari kehidupan beragamanya. Karena selama saya sekolah hingga kuliah, banyak saya menjumpai beberapa orang secara langsung maupun tidak langsung yang masih belum mempercayai Yesus dalam hidupnya. Ada juga mereka yang sangat logis, dengan anggapan bahwa Tuhan itu tidak ada , lebih baik saya mempelajari ilmu pengetahuan karena itu jelas terbukti!
Oke saya sebagai “mahasiswa Kristen” akan membahas hal tersebut. Walaupun saya bukanlah seorang teologia, tapi saya cukup mengetahui permasalahan ini. Memang pengetahuan akan alkitab saya belumlah sempurna, namun saya hanya akan mengulasnya sesuai pengetahuan saya. Sekali lagi saya katakan saya bukan mahasiswa teologia, tapi saya gemar menulis dan mengutarakan pendapat.

1. Kalau hidup baik-baik, dekat dengan Tuhan, rajin pelayanan, rajin gereja, ah saya dipandang lemah. Saya ingin bergabung dengan mereka yang berani dalam menjalani hidup! Saya ingin punya banyak teman!
            Suatu hari saya mengajak teman saya pergi ke sekolah bareng. Waktu itu saya masih duduk di bangku Sekolah Menengah Atas. Sebenaranya sebelumnya kami tidak pernah berangkat sekolah sama-sama. Tapi karena kebetulan di jalan kami bertemu, lalu kami pun berangkat bersama-sama. Di tengah perjalanan kami bercerita. Lalu saya bertanya kepada dia , “Kenapa kamu bergabung dengan orang-orang bandal itu, padahal dulunya kamu baik, rajin ke Gereja pula. Sekarang ke Gereja pun gak pernah”. Lalu dia mengatakan dengan sambil tertawa kecil ,”Saya tidak suka berteman dengan orang-orang yang terlalu baik. Lalu saya bertanya heran Kalau gitu kenapa kamu dulu berteman dengan mereka? Dia pun menjawab ,“Ya kalau dulu memang saya berteman sama mereka , karena awalnya ya kenal sama mereka. Tapi semakin lama semakin gak enak, mereka itu bolos gak mau, keluar malam gak mau, bekerjasama waktu ujian gak mau, tapi semenjak saya bergabung dengan teman-teman saya sekarang, saya lebih bisa menikmati masa-masa sekolah ! Saya lebih kuat dan berani dan orang-orang pasti akan segan pada saya, mana ada orang yang berani ganggu saya karena teman saya banyak!”
Dari perkataan teman saya, saya bisa menangkap bahwa dia hanya ingin dianggap kuat dan berani oleh orang-orang sekitarnya. Anggapan dia adalah bahwa orang Kristen yang taat beribadah merupakan orang tidak yang tidak bisa apa-apa. Setelah hal tersebut berlalu, hingga kini pun saya banyak menjumpai orang seperti itu.
Saya mencoba mencari tahu apa maksud kata kuat dan berani yang dia katakan. Mungkin setiap orang memiliki mindset yang berbeda-beda. Kuat dan berani dapat diartikan dengan melanggar aturan dan hukum yang berlaku. Tapi menurut mindset saya, orang yang kuat dan berani adalah orang yang bisa mengendalikan tingkah lakunya , dan berani itu adalah orang yang berani mempertahankan imannya walaupun harus bertaruh nyawa.
Kita lihat dari kisah Paulus, dulunya Paulus (Saulus) adalah pembenci orang-orang Kristen. Dia membunuh siapa saja yang percaya pada Yesus dengan keji. Sampai pada akhirnya dia bertobat, dan menyerahkan seluruh kehidupannya kepada Yesus. Dia pun memberitakan injil dari Asia Kecil hingga ke Roma. Bahkan beberapa pihak mengatakan akhir hidupnya adalah di Roma dengan menerima hukuman mati.
Kita juga bisa melihat kisah sebelumnya yang dihadapi Stefanus. Stefanus adalah seorang diaken dan dikenal memiliki keberanian dalam menyebarkan injil setelah zaman Yesus Kristus. Tapi oleh karena pelayanannya, dia diadili dan dirajam sampai mati. Pada saat itu Paulus (Saulus) ada disitu menyaksikan kematian Stefanus (sebelum Paulus menerima Tuhan Yesus).
Dari kedua kisah itu, kita dapat menyimpulkan sebenarnya orang yang kuat dan berani adalah orang seperti Stefanus dan Paulus. Mereka percaya kepada Yesus dan mengikuti Yesus. Mereka berani menentang “aturan-aturan yang salah” , bukan mengikuti aturan yang salah tersebut !
Dalam awang-awang saya, andaikan dulu saya bisa menegur teman saya yang dulu , mungkin dia akan berpikir dua kali. Tapi selama ini saya akan terus mempelajari kebenaran. Walaupun saya bukan mahasiswa teologia, tapi saya mencoba mempelajari “dasar” dari kehidupan.

2. Saya gak mau ke Gereja, karena orang-orang di Gereja itu munafik! Bahkan banyak pendeta yang munafik!
Dalam kasus ini, saya sangat sering menjumpai “anak-anak Tuhan” yang memiliki pandangan seperti ini. Tidak hanya pada anak-anak muda, namun pada orang yang sudah berumah tangga pun masih memelihara pola pikir seperti itu. Hingga kini mereka tidak pernah ke Gereja. Saya mendengar percakapan saudara saya dengan seorang bapak mengenai Ibadah kepada Tuhan. Bapak tersebut percaya kepada Tuhan, tapi dalam kepercayaannya dia tidak mau sama sekali ke Gereja. Dia menganggap dalam Gereja itu banyak sekali orang munafik, mulai dari main duit persembahan, kehidupan sosial para pendeta, dan jemaat-jemaatnya yang penyembahannya di Gereja tidak sesuai dengan apa yang dilakukannya sehari-hari.
Saya mendengarkan percakapan mereka yang saling beradu pendapat. Saudara saya meyakini bahwa tujuan kita pergi ke Gereja adalah untuk beribadah kepada Tuhan, bukan beribadah kepada manusia, dalam artian kita gak usah memikirkan bagaimana manusia di dalam Gereja itu, fokus kita ya hanya pada Tuhan saja. Karena sesungguhnya itu rumah Tuhan! Manusia-manusia itu hanya pengurus rumah itu, tamu ataupun pendatang. Pemilik rumah itu adalah Tuhan!
Bayangkan pada saat kita menjunjung ilmu di Perguruan Tinggi, kita banyak menemukan orang-orang yang “nakal”. Kita merasa sangat tidak betah saat pergi ke kampus karena tidak kunjung menemukan teman yang sesuai. Apalagi dosennya dikenal banyak yang malas. Apakah kita jadi tidak pergi ke kuliah? Oke, mungkin sebagian kita berpikir mending pindah ke kampus lain saja. Tapi apakah sudah pasti  kampus yang akan kita tempati lagi kondisinya berbeda 180°? Belum tentu. Karena pasti “ada saja” orang-orang seperti itu dalam lingkungan kita.
Kita lihat Gubernur DKI Jakarta saat ini, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), dia dikenal orang yang jujur, tegas, dan berani. Namun orang-orang terdekatnya seperti anggota dan pimpinan DPRD DKI banyak yang korupsi. Bagaimana cara dia berelasi dengan orang seperti itu? Ditambah lagi masyarakat Jakarta yang sangat keras dan beberapa pihak yang menentang dia. Apakah dia mundur sebagai Gubernur? Tidak. Dia malah berusaha menentang itu semua!
Seperti itulah mental kita seharusnya, sama seperti kita kuliah, tujuan kita yaitu mendapat gelar Sarjana dan mendapat pengetahuan dari kuliah , dan sebagai Gubernur DKI yaitu dengan tujuan membuat kota tersebut aman, tertib, dan tenteram. Begitu juga pada saat kita ke Gereja, apa tujuan kita? Jelas tujuan kita untuk memuliakan Tuhan. Apabila kita masih memiliki pikiran seperti yang diatas tadi, berarti jelas tujuan kita ke Gereja karena hanya rutinitas. Kita tidak punya kerinduan untuk mendengarkan suara Tuhan dan memuliakan Tuhan. Kita tidak punya keinginan untuk memahami firman Tuhan lebih lagi.
Tapi, kenalan saya pernah berkata, kalau begitu lebih baik gereja di rumah!
Bagaimana menurut kalian? Sekali lagi saya bukan mahasiswa teologia , tapi saya akan menentang itu. Yang namanya pergi ke Gereja yaitu pergi bersekutu bersama-sama ke rumah Tuhan. Disana pasti ada pendeta, pelayan, dan jemaat. Beda dong dengan di rumah. Lalu apakah dengan di rumah kita bisa memahami isi Alkitab yang kita baca? Belum tentu. Tapi kalau di Gereja kita bisa lebih memahaminya, karena ada pendeta yang menjelaskan maksud dari isi Alkitab yang dibaca.
Lalu saya bertanya kepada diri sendiri, Untuk apa dibangun Bait Allah itu? Tentu kalau semua orang berpikir bisa gereja di rumah, Bait Allah itu tidak akan pernah ada! Sedangkan pada zaman Yesus, Bait Allah itu sudah ada. Yesus bahkan pernah memporakporandakan Bait Allah yang dijadikan tempat berjualan. Itu artinya Bait Allah sangat penting!

3. Masih belum yakin kalau Tuhan itu ada, karena tidak didukung oleh ilmu pengetahuan yang mereka pelajari. Lalu kalau Tuhan itu ada, mengapa Dia mengizinkan penderitaan menghampiriku?
Ini merupakan pendapat orang-orang yang memposisikan dirinya terlalu pintar dan mengerti akan kondisi dunia saat ini. Saya memiliki tetangga beragama Kristen, namun dia masih mempertanyakan keberadaan Tuhan. Saat bercakap-cakap dengan ibu saya, saya mendengarkan bahwa dia sama sekali menolak Yesus. Dia mengatakan bahwa Allah itu tidak ada, dan Yesus itu hanya manusia biasa. Kalaupun Tuhan itu ada, kenapa sampai sekarang saya masih miskin seperti in? Anak-anak saya juga jadi anak yang membangkang?
Pada saat itu saya masih baru ‘lahir baru’ . Namun dalam hati saya, saya menentang dia. Ibu saya jelas seorang Kristen yang taat dan dia menanggapi hal ini dengan sangat serius. Saya mulai berpikir saat ini, mungkin orang itu (tetangga saya) sudah mendalami ilmu pengetahuan dengan sangat baik hingga tidak percaya adanya Allah.
Jika kita berbicara mengenai sejarah, saya cukup dalam mempelajari zaman sejarah , bahkan zaman pra-sejarah (sebelum adanya tulisan) saya pelajari. Jika kita berbicara mengenai pengetahuan dan kepercayaan akan Tuhan , kita bisa terbang ke zaman Yunani dan Babylonia dahulu. Awalnya bangsa Yunani lah yang sangat mempercayai pengetahuan dan tidak percaya akan adanya Dewa atau Tuhan. Orang Yunani adalah yang bisa menjelaskan bagaimana asal usul kehidupan menurut teori-teorinya. Berbeda dengan orang Babylonia yang sangat mengutamakan kepercayaan pada Tuhan atau Dewa. Pada dasarnya bangsa Yunani adalah bangsa yang maju. Tapi kita lihat, kita coba pahami pendapat Aristoteles. Aristoteles merupakan orang Yunani, dan dikenal dengan pemikirannya yang hebat. Aristoteles pernah berkata bahwa ,”Segala sesuatu yang ada di dunia ini, pasti ada sesuatu yang menggerakkannya”. Kita tidak bisa memungkiri yang dimaksud adalah Tuhan. Bayangkan saja, Anda mempunyai smartphone yang canggih. Tapi Anda sadar kan bahwa itu buatan manusia? Begitu juga dengan komputer, bahkan rumah yang Anda tempati. Apakah itu terbentuk sendiri? Tidak. Tukang bangunan yang membangun rumah tersebut sedemikian rupa. Begitu juga dengan alam semesta ini, apakah mungkin itu terbentuk sendiri?
Berbeda dengan Stephen Hawking, Stephen justru tidak mempercayai keberadaan Tuhan. Stephen Hawking adalah seorang ahli fisika teoritis dari Britania Raya yang sangat terkenal. Dia berpendapat bahwa asal mula dunia ini bisa dijelaskan secara teori dan ilmu fisika. Dia mengatakan bahwa dengan adanya gravitasi lah bumi dan alam semesta dapat terbentuk sendiri.
Tapi saya sungguh tidak setuju dengan pendapat Stephen Hawking. Memang seperti itulah apabila agama dan ilmu pengetahuan disangkutpautkan. Beberapa pihak juga sangat ingin menguasai ilmu pengetahuan untuk menjadi penguasa akan dunia ini. Tapi seharusnya mereka memegang kata-kata Einstein , yang mengatakan bahwa Pengetahuan tanpa agama adalah lumpuh, agama tanpa pengetahuan adalah buta. Mungkin kita bisa menangkap dari sisi positif perkataan Einstein tersebut yang mengisyaratkan bahwa agama dan pengetahuan (sains) tidak dapat dipisahkan.
Saya sangat setuju bahwa Allah menciptakan dunia ini dan kita menurut gambar dan rupa-Nya. Dan Allah mengutus Yesus untuk menebus dosa kita umat manusia. Oleh iman kepada Yesus lah kita diselamatkan. Lalu, kalaupun benar mengapa saya masih menderita? Kehidupan saya tidak berubah walaupun saya memohon dan berdoa sungguh-sungguh kepada Tuhan?
Sekali lagi saya katakan bahwa saya bukanlah mahasiswa teologia, namun saya punya pendapat mengenai apa yang pernah saya pelajari dan saya pernah dengar dari khotbah pendeta. Kita lihat saja Ayub, dalam perjanjian lama. Dialah orang yang paling menderita di dunia ini. Satu per satu yang dimilikinya di dunia ini habis. Tapi dia tak pernah sekali-sekali menyalahkan Tuhan. Bahkan pada saat itu, “Tuhan yang mengizinkan iblis untuk mencobai Ayub”. Kita bisa melihat dari sisi pandangnya Ayub bahwa Tuhan lah yang memberinya hidup, maka nyawa dia juga ada di tangan Tuhan. Dengan ini berarti Ayub menyerahkan seluruh hidupnya kepada Tuhan. Dia adalah orang yang sangat setia. Apabila kita orang-orang yang benar-benar percaya kepada Tuhan, seharusnya kita menyerahkan seluruh hidup kita sama seperti Ayub.
Yah, dalam pengamatan saya memang masih banyak orang yang bergumul akan kepercayaannya kepada Tuhan. Karena segalanya bisa dibuktikan dengan sains dan teknologi. Tapi yang saya sangat sarankan adalah hiduplah untuk Tuhan. Karena Anda akan menemukan “kasih” yang sejati. “Kasih” itu sangat mahal , apabila Anda menguasai ilmu pengetahuan dan disertakan dengan “Kasih” , maka Anda akan menjadi orang yang luar biasa dan mampu mengubah dunia ini yang sudah miskin akan “Kasih” .


“Apabila seseorang ingin benar-benar sukses, dia harus Creative , creative dalam artian dekat dengan Sang Pencipta/ Creator , “kata-kata Ahok.”



Yosua Andreas