Sunday 20 July 2014

Parasut


       “Waktu kecil, pernah aku bermimpi menjadi seorang dokter. Saat aku berumur 9 tahun dan pada saat itu nenekku merayakan ulang tahunnya yang ke- 65. Kata-kata yang masih terngiang di kepalaku adalah “kelak kalau kamu jadi dokter, kamu bisa mengobati nenek yang sudah sakit-sakit ini”.

          Perasaanku begitu tenang, penuh keyakinan, rasa percaya diri tinggi pada saat itu. Aku berpikir bahwa aku pasti bisa menggapai mimpiku dengan mudah. Begitu banyak ketertarikanku pada saat itu. Bintang-bintang di langit, bulan, bahkan planet yang sering bermunculan di kala malam aku begitu peka. Tiap malam, kesukaanku adalah memperhatikan bintang, planet, dan meteor yang jatuh ke bumi. Ketertarikanku pun menjadi seorang astronaut pada saat itu begitu besar “juga”.

          Ketertarikanku akan hal-hal yang berhubungan dengan luar angkasa kualami sejak SD sampai SMA. Begitu seperti orang bodoh terlihat orang apabila aku mempercayai keberadaan alien atau UFO. Namun, itulah yang menjadi hobiku. Aku bercita-cita ingin menjadi salah satu dari mereka yang terbang ke luar angkasa. Namun, semakin dewasa pikiran ini semakin mengarah ke realita bahwa bukan itu tujuanku sebenarnya.

          Memasuki masa SMA, dimana aku mulai tahu letak kemampuanku yang sebenarnya. Aku masuk IPA pada saat itu dan aku sangat bersyukur. Tidak banyak orang yang dengan mudah masuk IPA, namun aku termasuk salah satu dari orang-orang itu. Panjang cerita, aku mulai menyukai jurusan abangku pada saat kuliah, yaitu arsitektur. Hobiku pada menggambar memang sudah terlihat sejak kecil. Abangku sendiri mengatakan bahwa aku lebih hebat daripada dia dalam hal menggambar. Kepercayaan diriku begitu besar pada saat itu hingga aku meyakinkan diri bisa menjadi seorang arsitek yang terkenal, yang dapat mendesain bangunan hotel berbintang 6 atau bangunan terindah di Sumatera.

          “Aku bersungguh-sungguh ma, pa.. Aku akan memiliki hotel berbintang 6 dengan desainku sendiri dan aku memiliki hotel tsb atas saham-saham yang sudah kuberikan, dan kalian akan menikmatinya”

          Kata-kata itu sangat sering keluar dari hati dan mulutku kepada mereka. Cita-citaku pun ingin masuk ke Perguruan Tinggi di Undip (Universitas Diponegoro) tempat abangku pernah berkuliah dan mengambil jurusan arsitektur. Rasa antusias yang sangat tinggi mengurungi diriku pada saat itu. Sejak saat itulah aku sangat bersungguh-sungguh belajar, kerap juga aku mendesain berbagai macam bangunan padahal aku tidak mengerti dasarnya sama sekali. Aku mempelajari Autocad dan Sketch-Up dengan pengertianku sendiri. Itulah kerasnya usahaku.

          Perjuanganku pada saat ujian masuk Perguruan Tinggi, pada saat itu dinamakan SNMPTN tulis sangat tinggi. Buku-buku bimbel yang sangat tebal setiap hari aku kerjakan. Tak ada niatku untuk bermain-main, Hingga saatnya ujian aku akhirnya sadar dengan kapasitasku. Keberuntungan adalah faktor utama dalam mengerjakan ujian. Aku dengan lesu berkata bahwa aku tidak mungkin diterima di Undip ,karena menurut perhitunganku, passing grade ku tidak mencapainya. Hari-hari yang kulalaui hanya berdoa dan berserah agar Tuhan memberi yang terbaik buatku, yang penting aku sudah berusaha semampuku.

          Tiba di hari pengumuman, begitu terkejutnya aku saat melihat namaku lulus di Unpad (Universitas Padjadjaran) Jatinangor. Perasaan pertama yang kurasakan begitu tidak relanya aku selama ini memperjuangkan menjadi seorang arsitektur malah masuk ke jurusan Teknik Pertanian. Soal pertanian aku sungguh-sungguh buta. Tapi abangku dan seluruh keluargaku mengatakan bahwa itulah yang terbaik diberikan Tuhan. Dalam segala ketidakterimaanku, dalam segala pergumulanku aku berdoa kepada Tuhan agar aku diberi kekuatan.

          Untuk pertama kalinya aku merasakan perasaan berada di antara orang yang tidak memahami aku. Dimana pada saat masa sekolah teman-temanku begitu mengerti kemampuan dan hobiku yaitu menggambar. Perasaan tertekan sudah jelas membunuhku selama kuliah yang kujalani. Keberadaan orangtua yang jauh di luar pulau semakin membuatku tertekan. Namun seringkali jika ada waktu aku berkunjung ke tempat abangku yang ada di Depok.

          Menurutku suatu keputusan yang tepat mengambil jurusan ini di pilihan kedua. Ada hikmahnya kalau kata orang-orang. Aku bisa mendesain mesin pertanian seperti bidang kajian Alsin yang ada di jurusanku. Tapi entah mengapa kepercayaan diriku menurun semenjak aku kuliah. Aku lebih memperhatikan mereka yang begitu pintar pada pertanian dan sudah siap di dunia kerja, sedangkan aku yang aku tahu hanya menggambar dan menulis. Perasaan tertekan semakin menekanku.

          Rajin belajar? Ya, sesekali aku belajar dan pada saat ujian aku rajin membaca buku. Tetapi, produktivitasku justru semakin menurun saat kuliah ini. Aku hampir tidak memiliki rasa kepercayaan diri akan menjadi apa aku nanti. Mimpi menjadi arsitek pun sudah lenyap. IPK ku pun sudah tidak bisa menjadi ­cumlaude karena pernah mengulang. Suatu tekanan yang sangat tinggi berada di lingkunganku sendiri. Aku hampir pernah menjadi orang yang unsos andai tidak ada teman-teman satu rumahku. Namun apa daya jika teman-temanku pun tidak begitu mengerti keberadaanku karena kita sama-sama anak perantauan dan pasti hanya memikirkan nasib sendiri.

          Keindahan langit, bintang-bintang, planet, meteor yang sering kuamati semua sudah berlalu. Nenekku juga sekarang sudah menjadi kurus kering oleh penyakitnya. Papaku yang sudah mengalami komplikasi penyakit. Sungguh jiwa ini sudah tidak dipenuhi Roh lagi. Kehidupanku bagai bunga layu di antara yang subur. Kepercayaan diriku hilang. Rasa antusiasku hilang. Aku menjadi orang yang pesimis.

          Dalam setiap keterampilanku, aku tidak dipenuhi kepercayaan diri, dalam keterampilanku aku sangat takut dan khawatir, aku sangat memperhatikan kapasitasku, aku selalu memperhatikan ketidakmampuanku, itu semua adalah dosa yang aku tahu. Tapi ya Tuhan, sekali lagi aku ingin kepercayaan diriku kembali. Aku ingin memiliki hotel bintang 6 yang pernah kucita-citakan, tapi itu terasa seperti berbicara pada lorong gelap dan tak ada yang mendengar. Terasa ingin keluar dari segala tanggung jawabku yang ada dan membuang semua keluhan ini.

          Bahkan aku tidak mengenali diriku lagi. Menggambar? Apa menggambar itu penting? Menulis? Kau tidak bisa menjadi pemimpin jika kemampuanmu hanya menulis! Semua yang ingin kucita-citakan berlawanan dengan keinginan dan hasratku. Saat ingin melakukan apapun perutku terasa sakit dan ingin muntah rasanya. Kepercayaan diri ini sungguh berada pada titik 0.

          Abangku, kakakku yang sumber inspirasiku, dimana lagi perhatianmu sekarang. Tak ada lagi kata-kata motivasi daripadamu yang dapat membangkitkan roh ku saat ini. Roh ku saat ini sedang tertidur dan aku tidak sanggup membangunkannya lagi. Tuhan, hanya Engkau harapanku satu yang dapat membangkitkanku, tinggalah dalam hatiku, berdiamlah dalam jiwaku, karena hidup ini hanyalah fana jika kedagingan yang dicita-citakan, Roh Tuhan harus dimuliakan. Berkali-kali aku memotivasi diriku, orang-orang terdekatku memotivasi diriku, itu seperti mereka membangun-bangunkan rohku namun dia tetap terlelap.

          Pernah kurenungi betapa tertutupnya diriku seperti gerbang tinggi yang sudah diberi tembok yang kuat dan gembok yang sangat besar. Pikiranku tidak pernah terbuka lagi. Aku menggelut didalam sana. Oleh dosa-dosaku aku terpuruk bahkan dalam jurang yang paling dalam.  Tas parasutku tak pernah kubuka dan sangat sulit membukanya. Butuh kode rahasia dalam pikiranku yang belum bisa kuungkap. Aku tahu hidupku akan berubah jika aku membuka pikiranku, seperti parasut yang dibuka saat seseorang terjun bebas atau dia akan mati.

          ”Di tengah padang gurun yang luas, aku mencari-cari air. Rasa lelah, haus, dan serasa ingin mati. Tenggorokan sudah kering, keringatku sudah kering, terasa perih di seluruh tubuh. Panas yang sangat menyengat ini, tidak ada hijau-hijauan, yang ada hanya pasir cokelat ditambah debu-debu yang beterbangan. Aku berlutut, aku menelan air liurku yang terakhir kalinya, dan aku jatuh…. Roh ku sudah terangkat ke atas melihat kepedihanku.
Lalu keluargaku datang memanggil, orang yang paling aku cintai, teman-teman terdekatku, adik-adik yang mengasihiku, mereka memanggil namaku… Aku harus bangun… Bukalah tas parasut itu agar kau selamat.

By : Seseorang di sisi dunia ini , Yosua Andreas








galau itu jangan diartikan negatif, sebelum move on yang kita lakukan pasti bergalau dahulu